Guru Juara Memberi Piala Kepada Diri Sendiri
Guru
Juara Memberi Piala Kepada Diri Sendiri
: Kharir Hatta
Bagi sebagian orang, profesi guru
mungkin bukanlah cita-cita. Namun banyak juga yang memang bercita-cita menjadi
pendidik dan mengabdikan dirinya untuk
mendidik generasi manusia. Dahulu, menjadi guru mungkin dipandang kurang menjanjikan,
tetapi sekarang banyak yang mendambakannya. Itu semua karena tingkat
kesejahteraan guru yang makin meningkat. Adanya sertifikasi guru membuat para guru
honorer bisa lega sedikit dalam mengatasi kesenjangan biaya hidup dengan
pendapatan. Meskipun demikian, sesungguhnyalah seorang guru juga manusia yang
membutuhkan pendapatan yang layak dan pantas bagi penghidupannya, sebagaimana
profesi lainnya.
Pada umumnya kehidupan para Guru
jauh dari kesan hidup mewah, apalagi berfoya-foya. Kalaupun ada Guru yang cukup
kaya dan berharta boleh jadi itu didapat dari warisan orang tua, atau
usaha-usaha sampingan yang juga ia jalankan untuk memperoleh tambahan
pendapatan. Kehidupan para guru kebanyakan adalah kehidupan yang sederhana.
Jarang terdengar berita ada oknum guru korupsi. Mungkin ada, tetapi penulis
tidak pernah mendengarnya.
Namun begitu, banyak juga yang masih
saja beranggapan bahwa profesi guru adalah pilihan profesi nomor kesekian.
Cobalah Bapak dan Ibu tanyakan kepada anak didik Anda perihal cita-cita mereka.
Menjadi dokter dan profesi lain, agaknya, lebih favorit di mata siswa.
Tahukah Bapak Ibu, bahwa seorang
guru pun dapat juga menjadi dokter. Dokter bagi anak-anak yang sering sakit
hatinya. Nasihat dan penghiburan dari seorang Guru bagi siswa yang dilanda duka
atau sedang bermasalah, adalah obat yang dapat para Guru berikan. Obat dari
seorang guru yang tidak dapat dibeli di apotek dan bahkan resepnya bisa begitu
‘rahasia’. Ya, resep dan obat yang hanya
tersedia pada jiwa seorang Guru hebat, ikhlas, dan humanis.
Bagi seorang Guru yang memiliki ‘ruh
pendidik,’ mengajar itu menyenangkan. Berada dan menghadapi keadaan bagaimanapun
tidak menghalanginya untuk menlaksanakan panggilan tugas mengajar dan mendidik.
Seorang Guru sepatutnya menjadi
panutan bagi para siswanya. Ia dituntut menjadi sosok dan figur penuh
ketauladanan di mata siswa. Apabila seorang Guru bisa menjadi tauladan dan idola
siswa, maka ia akan dicontoh dan menjadi sumber inspirasi kebaikan. Ia akan
selalu dikenang dan diingat ‘pelajaran bermakna’ yang siswa cerap darinya.
Bahkan ada Guru-Guru yang seperti senantiasa dirindui siswa kehadirannya di
tengah mereka. Sehari saja ia tidak kelihatan, sudah membuat para siswa
penasaran.
Seorang guru merupakan public figure dan role model bagi para siswanya. Ia mesti bertindak-tanduk memesona
dan berpenampilan baik. Dari ujung rambut sampai ujung kaki, semua tampilan
diri sang Guru ‘diam-diam’ direkam oleh para siswa. Dari cara berpakaian dan segala perilaku
sehari-hari serta tutur katanya diapresiasi dan diinterpretasi oleh para siswanya.
Tidak hanya itu, seorang guru juga berperan
sebagai pengganti orang tua di sekolah. Para orang tua menyerahkan pendidikan
putra-putri mereka kepada Bapak dan Ibu Guru di sekolah, seraya berharap bahwa
putra-putri mereka diasuh dan dibina menjadi manusia baik. Dengan begini, maka seorang Guru memiliki
tanggung jawab yang super levelnya. Didikan yang keliru di rumah diperbaiki di
sekolah, dan didikan yang sudah ditanamkan di sekolah makin diperkuat di rumah.
Dan begitulah semestinya, antara kedua pihak di rumah dan para Guru di sekolah
saling bersinergi. Bahu membahu sehingga menghasilkan generasi yang baik dan
bermutu.
Akan tetapi tidak semua sekolah
maupun keluarga memiliki daya dukung memadai dalam rangka membina peserta
didik. Pengalaman penulis sendiri menunjukkan kenyataan itu. Penulis mengajar
di satu sekolah swasta dengan segala sarpras dan sumber daya terbatas. Namun
keterbatasan itu, memang bisa selalu dijadikan alasan untuk mengelak atau minta
ditolerir, tetapi hendaklah itu tidak dipandang sebagai penghalang utama. Penghalang
mendasar bisa bermula dari dalam diri para Guru di sekolah yang penuh
keterbatasan itu sendiri, yakni ketidakbersediaan berkorban dan berbuat lebih
dengan mengerahkan upaya semaksimal mungkin, mencurahkan segala kemampuan yang demi
mendidik dan membina para siswa.
Kala ada kegiatan lomba misalnya,
menjadi suatu keinginan dan harapan bahwa
di event itu para siswa bisa menjadi
juara. Maka mulailah penulis melatih para siswa yang dipilih. Biasanya para
siswa diberi tantangan dulu. Apabila mereka siap berkomitmen, maka akan
dilanjutkan dengan persiapan dan latihan-latihan sehingga waktu lomba menjelang.
Demikianlah yang penulis alami dari
tahun ke tahun. Berkali-kali penulis mempersiapkan para siswa terpilih untuk
mengikuti lomba pidato dan baca puisi. Latihan demi latihan dilalui, dan terkadang
diselingi juga dengan diskusi agar penulis sebagai Guru pendamping, bisa
mengetahui apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh para siswa peserta. Ternyata
dari hasil diskusi itu diketahui bahwa mereka sebenarnyalah ingin juga
membuktikan diri dan menjadi juara.
Dari proses latihan yang didampingi
sepenuh hati itu -- meski kurang mendapatkan apresiasi, akhirnya membuahkan
hasil. Sekolah kami mengirim empat peserta lomba. Dua siswa mengikuti lomba
baca puisi dan dua lainnya mengikuti lomba pidato.
Sangat membanggakan, karena ternyata
mereka berempat mendapat juara. Dua siswa peserta Lomba Puisi mendapat Juara I dan Juara Harapan I, sementara dua
siswa yang mengikuti Lomba Pidato
mendapat Juara I dan Juara Harapan I juga. Benar-benar melegakan bahwa upaya
yang telah kami kerahkan tidaklah sia-sia.
Dari kejuaran itulah, penulis yang
notabene sebagai Guru, pelatih dan pendamping mereka merasa senang dan merasa
bangga, meskipun tak membawa pulang ‘Juara’ dan ‘Piala’ atau diberi piagam
penghargaan dari pihak sekolah. Hal itu
mungkin karena Lomba atau Kejuaraan bagi para ‘Penghadir para Juara’ memang
belum pernah ada. Hadiah bagi para Guru penghadir para juara seringkali adalah
sekadar kenangan indah perihal ‘memberi piala kepada diri sendiri’.
Mendidik dan mengajar itu
menyenangkan serta bernilai ibadah apabila kita sudah meniatkannya. Meski yang
tampak di depan mata seakan semua jerih-payah kita tak ada harganya dan kurang
diapresiasi, terlebih bagi para Guru honorer, Guru di pedalaman, Guru di daerah
terpencil, Guru di batas-batas tepi wilayah NKRI, namun keikhlasan seorang guru
dapat dirasakan oleh anak-anak didiknya. Mereka akan mengingat kualitas pribadi
sang Guru, tauladan, serta kebaikan-kebaikannya. Dan bila terkenang akan Guru
idola mereka itu, mereka tergerak hatinya untuk mendoakan Guru-Guru yang telah
mengisi otak, hati, dan jiwa mereka.
Guru-guru Indonesia dari Sabang
sampai Merauke, mari satukan tekad! Satukan hati dan satukan pikiran! Kita
bangun generasi Indonesia dengan hati baik dan kasih sayang. Mari terus berkontribusi
bagi wajah masa depan umat manusia sebisa dan sepenuh hati kita.*
Penulis
Khariroh, S.Pd., nama pena Kharir Hatta. Bertugas di MTs NU 03 Al
Hidayah Kendal Jawa Tengah. E-mail: khariroh1@gmail.com
Komentar
Posting Komentar